Sabtu, 24 Juli 2010

"Memudahkan, bukan mempersulit"



Bismillah, semoga tulisan ini bisa memahamkan penulis tentang kaidah “memudahkan, bukan mempersulit”, karena penulis sendiri pernah menemukan bahwa ada seorang mad’u yang diinstruksikan untuk menambah kapasitasnya dalam beribadah, dalam berdakwah, dalam berharakah tetapi tidak memiliki bekal ‘ilmu’ untuk melaksanakannya, tidak diberi penjelasan yang mendalam mengenai ‘alasan’ kenapa harus melakukannya, dan tidak terlebih dahulu menganalisis seberapa kemampuan yang dimiliki olehnya.
Penulis melihat ada sebagian mad’u yang menjadi ‘beban’ dalam hal instruksi, sehingga mad’u tidak bersungguh-sungguh dalam menjalaninya ataupun tidak ikhlas dalam melakukannya. Ketika penulis mendapat masukan dari beberapa aktivis dakwah di salah satu fakultas, ternyata permasalahan yang dialami saat ini adalah kurangnya ‘kesadaran’, kurangnya ‘kefahaman’, kurangnya keilmuan untuk menjalankan aktivitas amal.
Maka, sebab itu penulis akan belajar!. Pertama yang penulis akan belajar adalah mengenai salah satu kaidah fiqih dakwah yaitu “Memudahkan, bukan mempersulit”.
Di dalam kitab Fiqih Prioritas yang ditulis oleh Dr. Yusuf al Qardhawy,  bahwa diantara prioritas yang sangat dianjurkan, khususnya dalam pemberian fatwa dan da’wah adalah prioritas terhadap persolan yang ringan dan mudah atas persoalan yang berat dan sulit.
Kemudahan dan keringanan itu lebih dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Allah SWT berfirman:
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” (al-Baqarah: 185)
“…Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (an-Nisa;: 28)
Rasulullah saw yang mulia bersabda,
“Sebaik-baik agamamu ialah yang paling mudah darinya.”
“Agama yang paling dicintai oleh Allah ialah yang benar dan toleran.”
Menurut Fathi Yakan dalam bukunya “Isti’ab, Meningkatkan Kapasitas dan Rekrutmen Dakwah”  beliau menuliskan bahwa salah satu sifat yang membantu para da’I agar dakwahnya bisa diterima oleh masyarakat adalah sikap mempermudah dan bukan mempersulit dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Manusia memiliki karakter, kemampuan dan daya tahan yang berbeda-beda. Apa yang bisa dilakukan oleh seseorang belum tentu bisa dilakukan oleh orang lain. Apa yang cocok untuk seseorang belum tentu cocok untuk orang lain. Karena itu Rasulullah saw. Memberikan prinsip, “Berjalanlah dengan menenggang perjalanan orang yang paling lemah di antara kalian.”
Ada tulisan Fathi Yakan yang penulis merasa perlu kita simak baik-baik bahwa menurut beliau,
“ Sangat disayangkan Islam hari ini tengah diuji dengan orang-orang yang lebih sering mempersulit dalam segala hal, seolah kemudahan bukan dari Islam sama sekali.”
Lalu beliau meneruskan,
“ Mereka mempersulit masalah shalat, mempersulit masalah wudlu, mempersulit masalah pakaian, makanan, minuman, hubungan dengan orang lain, jual beli dan bahkan mereka mempersulit dalam berdakwah. Ini semua jelas bertentangan dengan manhaj Nabi.”
Setiap dai wajib melihat objek dakwahnya dengan jiwa dan pandangan seorang pendidik yang penuh kasih sayang, rendah hati, dan pemaaf. Seorang da’I harus senantiasa mengharap kebaikan atas diri objek dakwahnya (Fiqih Dakwah, Jum’ah Amin Abdul Aziz).
Maka Permudahlah Jangan Dipersulit!
Dengarkanlah apa yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Nabi Saw. Berliau bersabda,
“Permudahlah, jangan dipersulit, besarkan hati jangan membuat orang lari.” (HR.Bukhari)
Imam Nawawi berkata, “Andaikan Rasulullah hanya menyebutkan “permudahlah…” maka beliau akan membenarkan tindakan orang mempermudah sekali, tetapi selanjutnya dia juga banyak mempersulit. Karena itu beliau meneruskan dengan,”…dan janganlah kalian persulit”. Hal itu untuk menghindari sikap mempersulit dalam semua keadaan. Demikian juga sabda Rasulullah,”…dan janganlah kalian membuat mereka lari.” Artinya menghibur atau membuat gembira orang-orang yang dihadapkan keislamannya, bukan malah membuat mereka lari dari Islam, dan tidak bersikap keras kepada mereka di awal keislamannya. Demikian juga melarang kemaksiatan, sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut agar bisa diterima. Dalam mengajarkan ilmu hendaknya bertahap, karena segala sesuatu kalau pada awalnya terasa mudah dan menyenangkan, orang akan berminat untuk masuk lebih jauh dan menerima dengan enak. Bahkan seringkali dengan kesadaran sendiri dia akan minta tambah. Berbeda dengan sikap sebaliknya.” (Fiqih Dakwah, Jum’ah Amin Abdul Aziz).
Ungkapan yang begitu mendalam yang terdapat dalam kitab Fiqih Dakwah, membuat penulis dan pembaca ‘sadar’ insyaAllah, pentingnya mempermudah dan tidak mempersulit. Memberi toleransi sesuai dengan fleksibelitas dan kemudahan Islam itu sendiri, bukan dibuat-buat tanpa dasar ilmu yang syar’i.
Sikap lemah lembut dan tidak mempersulit merupakan anjuran Rasulullah saw yang memiliki keutamaan, ini sesuai dalam haditsnya,

“Maukah kalian aku tunjukkan orang yang diharamkan masuk neraka? Neraka diharamkan bagi setiap orang yang lemah lembut dan selalu memberi kemudahan.” (HR. Tirmidzi)
Coba penulis dan pembaca renungkan kisah Rasulullah saw bersama para sahabat mengenai bentuk tindakan konkret dari mempermudah dan bukan mempersulit,
“Seorang Arab Badui kencing di masjid, kemudian orang-orang yang ada di masjid langsung bangkit dan berusaha untuk menangkapnya. Rasulullah lalu bersabda: Biarkan ia dan siramkan seember air pada bekas kencing tersebut, karena kalian hanya diperintahkan untuk mempermudah dan bukan mempersulit.” (HR.Bukhari).
Sesungguhnya kelembutan dan sikap lapang dada seorang da’I serta sikapnya yang selalu memberi kemudahan akan menjadi sebuah kunci yang dapat membuka hati masyarakat yang tertutup rapat, hingga dapat menyelami ke dasar jiwanya dan akhirnya menerima apa yang disampaikannya.
Intruksi akan terasa hangat dan memberikan hawa menyejukkan bagi mad’u apabila kaidah “mempermudah dan tidak mempersulit” di aplikasikan, mad’u akan melaksanakan setiap intruksi dengan penuh kesadaran dan keihklasan, tidak ada pertanyaan “kenapa?” yang bukan untuk dijawab tapi hanya dijadikan sebuah alasan, atau hanya menahan diri dalam waktu. Contohnya ketika seorang sahabat pernah bercerita, bahwa ada seorang aktivis dakwah menanyakan “Kenapa harus aksi?” setelah diberi jawaban, ternyata tidak membuat si penanya bergerak untuk berangkat ke medan aksi.
Semoga penulis dan pembaca bisa meneladani akhlak Rasulullah saw, dalam kitab Ar Rasuul saw. Penulis Said Hawwa, beliau menuliskan bahwa Kebijakan Rasulullah saw. sangat luas dan tak bisa di jelajahi semua sisinya. Kalau tidak kebijakan ini tentu beliau tak mungkin bisa menghadapi bangsa Arab yang susah untuk tunduk dan mengakui kebenaran serta tak mau disakiti sedikit pun.
Maha benar Allah ketika berfirman,
“…Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali-Imran: 159)

Wallahu ‘alam. Astaghfirullah…Ya Allah ampunilah aku…
Gola  Ath-thoolibu
Sabtu, 12 Sya’ban 1431 H atau 24 Juli 2010 Sekitar Jam 09.00 s.d. 11.09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.